Kubuka
lembaran kenangan indah yang dulu pernah kurasakan, album foto itu
mengingatkanku pada masa dimana aku masih duduk dibangku sekolah dasar.
Terkadang aku merasa geli, sampai-sampai tidak sadar lagi jika sudah senyum-senyum
sendiri. Ya, pasalnya masa-masa putih merahku dulu sungguh memalukan, bukan
karena aku berbuat konyol, tetapi karena kisah hidupku dulu yang bak perasaan. Apalagi
saat duduk dibangku kelas 6 Sekolah Dasar, aku dan teman-temanku merasa sudah yang paling senior dan sangat
ditakuti oleh siapapun, termasuk guru-guru yang mengajar kami. Bagaimana tidak,
guru baru yang mengajar di sekolahku pun bisa sakit dan hampir tidak mau
mengajar lagi akibat ulahku dan teman-temanku.
“Eh,
katanya mau ada guru baru ya Wa?”, tanya Widia penasaran.
“Meneketehe,
tumerejane, manaku tau.”, jawabku singkat.
Widia
yang tidak puas dengan jawabanku langsung pergi dari hadapanku dengan muka
masam. Ia kembali melontarkan pertanyaan yang sama kepada Wida. Tapi, ia juga
mendapat jawaban yang sama seperti jawabanku tadi,
“Ah
kalian mah, aku tanya juga, jawabnya gitu-gitu mulu. Kan sebel!”
“Iya
Wid, tadi aku liat di kantor ada ibu guru baru.”, jawab Jojo.
Akhirnya,
rasa penasaran widia bisa terobati dengan jawaban sang pujaan hatinya itu. Ia
langsung tersipu malu melihat Jojo ada disebelahnya dan menjawab pertanyaannya
itu. Seketika seisi kelas pun rusuh. Aku, Wida, Yuli, dan yang lainnya bersorak
sorai melihat dua insan yang sedang tersipu malu karena semua pandangan tertuju
kepada mereka. Ya, beginilah keadaan anak yang sebentar lagi akan dewasa, sudah
mulai bertingkah. Apalagi tidak lama lagi, kami akan keluar dari sini dan
menempuh hidup baru, berkenalan dengan masa putih biru.
“Cie..
Widia.. cuit, cuit. Jojo juga cie, cie.”, gangguku.
Tak
terasa jam sudah menunjukkan pukul 9.30 WIB, waktu istirahat pun tiba. Aku dan
Wida yang dari tadi sudah berencana untuk membeli tekwan langsung buru-buru
bergegas menuju warung Bude Siti. Sudah lama sejak Bude Siti cuti berjualan aku
tidak pernah lagi membeli tekwan. Rasanya masih sama, super maknyos, apalagi
kalau pedas, jadi ingin tambah terus.
“Wa,
kalo bener ada guru baru, terus ngajar kita, kita mau ngapain? Gak suka deh ada
yang baru-baru, pasti gak enak. Kayak si Ade, anak baru yang nyebelin itu,
akhirnya dia pindah kan.”, ucap Wida panjang lebar, sambil terus mensruput kuah
tekwannya.
“Kita
bully aja kali ya? Atau kita gangguin aja biar dia gak betah, terus jadinya
pindah, hahaha.”, jawabku nyeleneh.
“Ini
masalahnya guru Wa, bukan siswa. Kan takut, kalo entar kita dimarah sama Ibu
Tuti, kepala sekolah kita tercinta.”, Wida kembali menjawab.
“Santai
aja Wid, tinggal kabur kan beres, kalo gak mau ketemu guru barunya. Gitu aja
kok susah amat.”, jawabku tenang.
Wida
menghela napas panjang dan kembali memakan pentol tekwannya yang tinggal satu
itu. Setelah puas makan tekwan, kami pun kembali ke kelas. Sebenarnya didalam
hati, aku masih memikirkan perkataan wida tadi, aku baru sadar kalau
perkataannya itu ada benarnya juga. Aku sangat-sangat tidak ingin ada guru baru
yang mengajar di kelas kami. Sudah cukup si Ade saja yang tidak betah dan
keluar gara-gara ulah kami. Entah kenapa aku, tidak, bukan aku saja, tapi semua
teman-temanku, tidak suka dengan sesuatu yang baru. Kami menganggap itu, seperti
penyeludup yang tiba-tiba masuk menyelinap ke rombongan kami yang sudah sangat
klop ini.
Sampai
di kelas, Anton langsung menghampiriku, dan mengatakan bahwa besok kami akan
belajar Pendidikan Kewarganegaraan dengan ibu guru baru. Aku yang mendengar itu
langsung shock, aku tidak tau lagi harus bagaimana, yang pasti aku sangat tidak
percaya bahwa apa yang aku takutkan benar-benar terjadi.
“Oh,
ok ton. Siapa yang bilang itu? Terus kita harus apa? Sambut pake Tari
Persembahan?”, tanyaku agak sedikit dongkol.
“Tadi
Pak Saragih datang ke kelas dan bilang begitu. Janganlah seperti itu Wa, kita
harus berbaik sangka dulu, jangan langsung jiplak orang seperti itu, siapa tau
ibu gurunya cantik dan baik.”, jawab Anton meluruskan.
Tapi,
aku sama sekali tidak tertarik dengan kata-kata Anton yang sok bijak itu.
Sampai kapan pun memang aku dan Anton tidak akan pernah bersatu. Kami selalu
saja berbeda pikiran dan berdebat. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang
kalah, sampai akhirnya waktu yang memisahkan dan menghentikan sidang isbat kami
ini.
Seperti
biasa, aku, Wida dan Widia membentuk forum dibelakang, dan membicarakan tentang
topik terhangat hari ini yaitu ibu guru baru. Lalu, kami mengambil kesimpulan
untuk dibicarakan ke yang lain. Kami berencana untuk tidak mengikuti pelajaran
ibu itu besok, dan tetap berada di luar. Siapapun yang menyuruh kami masuk,
tidak akan kami dengarkan. Mau itu teman yang berkhianat kek, cleaning service
kek, guru kek, bahkan kepala sekolah sekalipun tidak akan kami hiraukan. Kami
berharap, hal itu bisa membuat sekolah sadar bahwa kami tidak mau ada guru
baru. Kami lebih memilih belajar semua mata pelajaran dengan wali kelas kami, dibanding
harus belajar dengan ibu guru baru. Kami berprinsip bahwa guru perempuan baru
itu pasti centil, sok cantik, sok baik, dan cari perhatian. Dan pada
kenyataannya, dia tidak bisa mengajar dengan baik, karena hanya memikirkan
fashionnya saja. Ditambah lagi ibu guru baru itu masih muda kata Jojo.
“Hush!
Jangan bicara seperti itu. Posthink dong, ibu gurunya cantik dan baik kayak
aku.”, kata Keri.
“Kamu
mau jadi pengkhianat ya Ker? Silahkan!”, bentakku sambil melotot kearah Keri.
Aku
tahu betul, Keri akan diam jika aku sudah menjawab. Pasalnya, dia sangat takut
padaku. Aku memang sangat jahat disini, tapi tidak dengan semuanya. Aku hanya
akan jahat jika ada orang yang tidak sependapat padaku dan berbicara nyolot.
Aku berharap setelah lulus dari Sekolah Dasar aku bisa menjadi wanita yang
kalem dan lemah lembut. Tapi entahlah jika masih banyak orang yang berkhianat,
mungkin aku akan terus membasmi mereka.
Tak
terasa sudah berjalan setengah hari, lonceng pulang sekolah berbunyi. Buleku
yang sedari tadi sudah menungguku di dekat gerbang memanggilku.
“Wawa
cepet!”
“Iya
bule”, teriakku.
Sesampainya
di rumah, aku langsung ganti pakaian dan makan siang. Beruntung sekali aku hari
ini, ibuku memasak makanan kesukaanku, Cumi Sambel Ijo. Selesai makan, kucari
posisi wenak di depan televisi. Aku sudah tidak sabar lagi menonton acara di
MNCTV siang ini, seperti biasa, “Upin Ipin dan Kawan-Kawan” dilanjutkan dengan
“Boboi Boy”. Hobiku memang menonton hal-hal yang berbau kekanak-kanakan. Aku
merasa seperti anak berumur 4 tahunan jika menonton kartun ini.
**********
Keesokan
harinya, aku bergegas bersiap-siap untuk sekolah. Sialnya, aku lupa membereskan
bukuku tadi malam, bapakku pun berangkat kerja lebih dulu dan meninggalkanku.
Pagi ini, aku harus siap menerima omelan dari ibu karena ketelambatanku. Ibuku
menyuruhku untuk menunggu orang lewat di depan rumah untuk dimintai tebengan.
Padahal aku paling tidak suka jika harus melakukan ini. Tapi, jika aku tidak
melakukannya, mungkin aku tidak akan sampai ke sekolah. Jika aku memilih untuk
berjalan kaki, itu akan memakan waktu yang sangat lama, karena jarak dari
rumahku ke sekolah sekitar 3 km.
Setelah
lama menunggu, akhirnya aku pun mendapat tebengan dari tetanggaku yang hendak
pergi ke kebun. Sesampainya di sekolah, seperti biasa, teman-teman segengku
menghapiriku.
“Lama
banget Wa datengnya, macet ya? Hahaha.”, goda wida.
“Tadi
aku ditinggal sama bapak, jadi terpaksa harus menumpang tebengan.”, jawabku
agak sedikit kesal.
Tapi
tiba-tiba, pandanganku beralih ke wanita yang ada dihadapanku diseberang sana.
Ya, wanita itu mengenakan pakaian formal rapi seperti guru. Tapi sepertinya,
dia bukan guru di sekolahku. Aku belum pernah melihatnya sama sekali di
sekolahku. Baju dan rok hijau muda yang ia kenakan, membuat pandangan semua
orang tertuju padanya, termasuk aku.
“Itu
dia ibu guru barunya.. cantikkan?”, seru Jojo meramaikan suasana yang memang
sedari tadi hening.
“Hah?
Cantik darimana Jo!? Orang belum keliatan juga mukanya. Huu…!”, jawabku sinis.
“Santai
Wa.”, jawab Jojo sok asik.
“Ih,
gak suka deh ada guru baru! Sepakatkan ntar kabur pas ibu itu masuk?”, seruku.
“Oke
Wa.”, jawab Widia dan Wida.
“Biarin
aja yang lain, mereka kan mau jadi pengkhianat. Biar jadi anak kesayangan terus
dapet juara ngalahin aku.”, sindirku dengan menyombongkan diri.
Lonceng
masuk berbunyi, aku, Wida, dan Widia, buru-buru masuk kelas mengambil tas dan
siap-siap bolos. Sebelumnya aku menyeru kepada semua teman-temanku yang ada di
kelas. Tapi, seperti yang sudah aku duga, pasti banyak yang berkhianat. Yang
ikut denganku hanya ada 9 orang diantaranya ada Wida, Widia, Yuli, Heni, Anisa,
Edi, Ade Kiki, Tri, bahkan Jojo yang tadinya memuji pun ikut rombongan kami.
Jujur, aku memang anak yang nakal. Tapi, aku tidak pernah lepas dari peringkat
satuku. Walaupun badung begini, aku masih tetap memikirkan prestasi.
“Assalamualaikum
WR. WB.”, ibu guru baru masuk kelas mengucapkan salam.
“Walaikumsalam
WR. WB.”, jawab anak-anak pengkhianat yang masih berada di kelas.
“Ini
jumlah siswanya memang cuma segini? Bukannya ada 28 ya? Kemana yang lain?”,
Tanyanya keheranan.
Tidak
ada respon dari anak-anak, mereka semua terdiam. Begitu pula dengan sang guru.
Mungkin karena dia guru baru, jadi dia tidak begitu mempermasalahkan hal itu.
Buktinya, dia tidak kepo dengan pertanyaan yang belum dijawab tadi dan langsung
memperkenalkan diri.
“Baiklah,
perkenalkan nama lengkap ibu Nur Kumala, kalian bisa panggil saya bu Nur.”
Asal
kalian tahu, sebenarnya kami bersepuluh ini mengintip dari jendela. Dan betapa
kagetnya kami ketika bu Nur melihat ke arahku. Aku yang sudah tertangkap basah
mengintip ini langsung panik dan berencana lari. Tapi, bu Nur langsung membuka
jendela dan menyeru.
“Heyy…!
Kalian bersepuluh kenapa tidak masuk kelas? Malah mengintip lagi!”, teriak bu
Nur yang membuat kami sangat ketakutan.
“Mau
kabur bu..”, jawabku ringan.
“Ya
ampun, ada ya siswa yang seperti ini. Tidak tau sopan santun. Kecewa ibu, baru
pertama kali ibu lihat ada siswa seperti ini.”, jawab bu Nur dengan muka
memerah.
“Abisnya
kita gak mau ada guru baru, guru baru tu ngeselin, kayak ibu. Baru masuk udah
marah-marah.”, jawabku sambil bergegas pergi menjauh dari hadapan bu Nur.
“Mau
kemana kalian?!”, teriak bu Nur lagi.
Kami
sama sekali tidak menghiraukannya lagi, dan langsung kabur menjauh dari ruang
kelas kami. Sialnya, kami tertangkap basah dengan guru lain. Walaupun sudah
tertangkap basah, kami masih bisa lari. Bahkan kami main kejar-kejaran dengan
satpam sekolah kami. Sampai akhirnya kami bertemu dengan kepala sekolah kami.
Sepertinya bu Tuti marah besar melihat tingkah kami. Bisa dilihat dari mukanya
yang seketika berubah menjadi seperti api yang berkobar-kobar. Tapi tetap saja
kami abaikan, sampai akhirnya kami bersepuluh bisa sampai di pintu gerbang dan
berhasil melarikan diri. Setelah dipikir-pikir, masalahnya memang sepele, hanya
tidak ingin ada guru baru. Tapi, karena kami memang punya jiwa-jiwa pemberontak,
ya begini akhirnya.
Sesampainya
di rumah, aku sudah tidak punya pikiran lagi untuk ganti baju. Langsung ku
rebahkan badanku di atas kasur dan tertidur pulas sampai sore.
*****
Tak
terasa malam sudah berganti pagi, matahari sudah mulai menampakkan wajahnya.
Hari ini aku sangat takut sekali berangkat sekolah, akibat ulah kami kemarin.
Pasalnya, itu adalah bagian dari kenakalan kami yang paling parah. Tapi, karena
memang aku sudah bebal, jadi aku tenang-tenang saja dan tetap berangkat sekolah
seperti biasanya.
Benar
dugaanku, saat jam pelajaran dimulai, wali kelasku masuk dengan muka yang
berbeda, tidak seperti biasanya, yang selalu menebarkan senyuman. Kami, seluruh
siswa/siswi kelas VI didikan pak Parjio, kena omel habis-habisan. Dan kami bersepuluh
yang membuat masalah kemarin, disuruh menghadap bu Nur dan meminta maaf
kepadanya.
Aku
dan delapan orang lainnya, saat jam istirahat langsung pergi ke kantor untuk
menemui bu Nur. Tapi ternyata bu Nur tidak ada. Yang membuat kami sangat kaget,
ketika guru piket mengatakan bahwa bu Nur sakit, sehingga tidak bisa masuk. Aku
yang kemarin beradu mulut dengan bu Nur sangat merasa bersalah, dan berencana
sepulang sekolah nanti membeli sesuatu sebagai tanda permohonan maaf. Kami
bersepuluh pun iuran dan membelikan mainan jilbab untuk bu Nur.
******
Keesokan
harinya, kami lihat bu Nur sudah masuk. Kami langsung bergegas menemuinya dan
meminta maaf.
“Ibu..
kami semua minta maaf ya bu.. kami janji tidak akan mengulanginya lagi.”,
kataku sambil menyalami bu Nur dan memberikan mainan jilbab yang kami beli
kemarin.
“Iya,
ibu maafkan.. lain kali jangan seperti itu lagi. Ibu juga minta maaf karena
sudah marah-marah kemarin. Ngomong-ngomong makasih hadiahnya. Hehehe.”, jawab
bu Nur sambil tertawa.
Spontan
kami semua yang ada disini tertawa. Kami bersepuluh, ditambah bu Nur saling
berpelukan. Akhirnya, aku sadar, bahwa tidak semua yang baru itu begitu. Aku
terlalu cepat mengambil kesimpulan. Bu Nur guru yang sangat baik, dia penyayang.
Dari sini aku bisa belajar untuk menerima. Menerima apapun itu.
Kini, aku sudah mulai
beranjak dewasa. Jika kuingat-ingat lagi masa itu, rasanya sungguh mengharukan
sekali. Ya, aku juga tidak menyangka, jika Bu Nur sekarang adalah tetanggaku.
"Sorry masih banyak kekurangan"
Karya : Bunga Anggraeni Rahayu
XI MIA 3 MAN Insan Cendekia Jambi