Sabtu, 05 September 2015

CERPEN-YANG BARU TIDAK SELALU BEGITU

Kubuka lembaran kenangan indah yang dulu pernah kurasakan, album foto itu mengingatkanku pada masa dimana aku masih duduk dibangku sekolah dasar. Terkadang aku merasa geli, sampai-sampai tidak sadar lagi jika sudah senyum-senyum sendiri. Ya, pasalnya masa-masa putih merahku dulu sungguh memalukan, bukan karena aku berbuat konyol, tetapi karena kisah hidupku dulu yang bak perasaan. Apalagi saat duduk dibangku kelas 6 Sekolah Dasar, aku dan teman-temanku  merasa sudah yang paling senior dan sangat ditakuti oleh siapapun, termasuk guru-guru yang mengajar kami. Bagaimana tidak, guru baru yang mengajar di sekolahku pun bisa sakit dan hampir tidak mau mengajar lagi akibat ulahku dan teman-temanku.
“Eh, katanya mau ada guru baru ya Wa?”, tanya Widia penasaran.
“Meneketehe, tumerejane, manaku tau.”, jawabku singkat.
Widia yang tidak puas dengan jawabanku langsung pergi dari hadapanku dengan muka masam. Ia kembali melontarkan pertanyaan yang sama kepada Wida. Tapi, ia juga mendapat jawaban yang sama seperti jawabanku tadi,
“Ah kalian mah, aku tanya juga, jawabnya gitu-gitu mulu. Kan sebel!”
“Iya Wid, tadi aku liat di kantor ada ibu guru baru.”, jawab Jojo.
Akhirnya, rasa penasaran widia bisa terobati dengan jawaban sang pujaan hatinya itu. Ia langsung tersipu malu melihat Jojo ada disebelahnya dan menjawab pertanyaannya itu. Seketika seisi kelas pun rusuh. Aku, Wida, Yuli, dan yang lainnya bersorak sorai melihat dua insan yang sedang tersipu malu karena semua pandangan tertuju kepada mereka. Ya, beginilah keadaan anak yang sebentar lagi akan dewasa, sudah mulai bertingkah. Apalagi tidak lama lagi, kami akan keluar dari sini dan menempuh hidup baru, berkenalan dengan masa putih biru.
“Cie.. Widia.. cuit, cuit. Jojo juga cie, cie.”, gangguku.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 9.30 WIB, waktu istirahat pun tiba. Aku dan Wida yang dari tadi sudah berencana untuk membeli tekwan langsung buru-buru bergegas menuju warung Bude Siti. Sudah lama sejak Bude Siti cuti berjualan aku tidak pernah lagi membeli tekwan. Rasanya masih sama, super maknyos, apalagi kalau pedas, jadi ingin tambah terus.
“Wa, kalo bener ada guru baru, terus ngajar kita, kita mau ngapain? Gak suka deh ada yang baru-baru, pasti gak enak. Kayak si Ade, anak baru yang nyebelin itu, akhirnya dia pindah kan.”, ucap Wida panjang lebar, sambil terus mensruput kuah tekwannya.
“Kita bully aja kali ya? Atau kita gangguin aja biar dia gak betah, terus jadinya pindah, hahaha.”, jawabku nyeleneh.
“Ini masalahnya guru Wa, bukan siswa. Kan takut, kalo entar kita dimarah sama Ibu Tuti, kepala sekolah kita tercinta.”, Wida kembali menjawab.
“Santai aja Wid, tinggal kabur kan beres, kalo gak mau ketemu guru barunya. Gitu aja kok susah amat.”, jawabku tenang.
Wida menghela napas panjang dan kembali memakan pentol tekwannya yang tinggal satu itu. Setelah puas makan tekwan, kami pun kembali ke kelas. Sebenarnya didalam hati, aku masih memikirkan perkataan wida tadi, aku baru sadar kalau perkataannya itu ada benarnya juga. Aku sangat-sangat tidak ingin ada guru baru yang mengajar di kelas kami. Sudah cukup si Ade saja yang tidak betah dan keluar gara-gara ulah kami. Entah kenapa aku, tidak, bukan aku saja, tapi semua teman-temanku, tidak suka dengan sesuatu yang baru. Kami menganggap itu, seperti penyeludup yang tiba-tiba masuk menyelinap ke rombongan kami yang sudah sangat klop ini.
Sampai di kelas, Anton langsung menghampiriku, dan mengatakan bahwa besok kami akan belajar Pendidikan Kewarganegaraan dengan ibu guru baru. Aku yang mendengar itu langsung shock, aku tidak tau lagi harus bagaimana, yang pasti aku sangat tidak percaya bahwa apa yang aku takutkan benar-benar terjadi.
“Oh, ok ton. Siapa yang bilang itu? Terus kita harus apa? Sambut pake Tari Persembahan?”, tanyaku agak sedikit dongkol.
“Tadi Pak Saragih datang ke kelas dan bilang begitu. Janganlah seperti itu Wa, kita harus berbaik sangka dulu, jangan langsung jiplak orang seperti itu, siapa tau ibu gurunya cantik dan baik.”, jawab Anton meluruskan.
Tapi, aku sama sekali tidak tertarik dengan kata-kata Anton yang sok bijak itu. Sampai kapan pun memang aku dan Anton tidak akan pernah bersatu. Kami selalu saja berbeda pikiran dan berdebat. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, sampai akhirnya waktu yang memisahkan dan menghentikan sidang isbat kami ini.
Seperti biasa, aku, Wida dan Widia membentuk forum dibelakang, dan membicarakan tentang topik terhangat hari ini yaitu ibu guru baru. Lalu, kami mengambil kesimpulan untuk dibicarakan ke yang lain. Kami berencana untuk tidak mengikuti pelajaran ibu itu besok, dan tetap berada di luar. Siapapun yang menyuruh kami masuk, tidak akan kami dengarkan. Mau itu teman yang berkhianat kek, cleaning service kek, guru kek, bahkan kepala sekolah sekalipun tidak akan kami hiraukan. Kami berharap, hal itu bisa membuat sekolah sadar bahwa kami tidak mau ada guru baru. Kami lebih memilih belajar semua mata pelajaran dengan wali kelas kami, dibanding harus belajar dengan ibu guru baru. Kami berprinsip bahwa guru perempuan baru itu pasti centil, sok cantik, sok baik, dan cari perhatian. Dan pada kenyataannya, dia tidak bisa mengajar dengan baik, karena hanya memikirkan fashionnya saja. Ditambah lagi ibu guru baru itu masih muda kata Jojo.
“Hush! Jangan bicara seperti itu. Posthink dong, ibu gurunya cantik dan baik kayak aku.”, kata Keri.
“Kamu mau jadi pengkhianat ya Ker? Silahkan!”, bentakku sambil melotot kearah Keri.
Aku tahu betul, Keri akan diam jika aku sudah menjawab. Pasalnya, dia sangat takut padaku. Aku memang sangat jahat disini, tapi tidak dengan semuanya. Aku hanya akan jahat jika ada orang yang tidak sependapat padaku dan berbicara nyolot. Aku berharap setelah lulus dari Sekolah Dasar aku bisa menjadi wanita yang kalem dan lemah lembut. Tapi entahlah jika masih banyak orang yang berkhianat, mungkin aku akan terus membasmi mereka.
Tak terasa sudah berjalan setengah hari, lonceng pulang sekolah berbunyi. Buleku yang sedari tadi sudah menungguku di dekat gerbang memanggilku.
“Wawa cepet!”
“Iya bule”, teriakku.
Sesampainya di rumah, aku langsung ganti pakaian dan makan siang. Beruntung sekali aku hari ini, ibuku memasak makanan kesukaanku, Cumi Sambel Ijo. Selesai makan, kucari posisi wenak di depan televisi. Aku sudah tidak sabar lagi menonton acara di MNCTV siang ini, seperti biasa, “Upin Ipin dan Kawan-Kawan” dilanjutkan dengan “Boboi Boy”. Hobiku memang menonton hal-hal yang berbau kekanak-kanakan. Aku merasa seperti anak berumur 4 tahunan jika menonton kartun ini.
**********
Keesokan harinya, aku bergegas bersiap-siap untuk sekolah. Sialnya, aku lupa membereskan bukuku tadi malam, bapakku pun berangkat kerja lebih dulu dan meninggalkanku. Pagi ini, aku harus siap menerima omelan dari ibu karena ketelambatanku. Ibuku menyuruhku untuk menunggu orang lewat di depan rumah untuk dimintai tebengan. Padahal aku paling tidak suka jika harus melakukan ini. Tapi, jika aku tidak melakukannya, mungkin aku tidak akan sampai ke sekolah. Jika aku memilih untuk berjalan kaki, itu akan memakan waktu yang sangat lama, karena jarak dari rumahku ke sekolah sekitar 3 km.
Setelah lama menunggu, akhirnya aku pun mendapat tebengan dari tetanggaku yang hendak pergi ke kebun. Sesampainya di sekolah, seperti biasa, teman-teman segengku menghapiriku.
“Lama banget Wa datengnya, macet ya? Hahaha.”, goda wida.
“Tadi aku ditinggal sama bapak, jadi terpaksa harus menumpang tebengan.”, jawabku agak sedikit kesal.
Tapi tiba-tiba, pandanganku beralih ke wanita yang ada dihadapanku diseberang sana. Ya, wanita itu mengenakan pakaian formal rapi seperti guru. Tapi sepertinya, dia bukan guru di sekolahku. Aku belum pernah melihatnya sama sekali di sekolahku. Baju dan rok hijau muda yang ia kenakan, membuat pandangan semua orang tertuju padanya, termasuk aku.
“Itu dia ibu guru barunya.. cantikkan?”, seru Jojo meramaikan suasana yang memang sedari tadi hening.
“Hah? Cantik darimana Jo!? Orang belum keliatan juga mukanya. Huu…!”, jawabku sinis.
“Santai Wa.”, jawab Jojo sok asik.
“Ih, gak suka deh ada guru baru! Sepakatkan ntar kabur pas ibu itu masuk?”, seruku.
“Oke Wa.”, jawab Widia dan Wida.
“Biarin aja yang lain, mereka kan mau jadi pengkhianat. Biar jadi anak kesayangan terus dapet juara ngalahin aku.”, sindirku dengan menyombongkan diri.
Lonceng masuk berbunyi, aku, Wida, dan Widia, buru-buru masuk kelas mengambil tas dan siap-siap bolos. Sebelumnya aku menyeru kepada semua teman-temanku yang ada di kelas. Tapi, seperti yang sudah aku duga, pasti banyak yang berkhianat. Yang ikut denganku hanya ada 9 orang diantaranya ada Wida, Widia, Yuli, Heni, Anisa, Edi, Ade Kiki, Tri, bahkan Jojo yang tadinya memuji pun ikut rombongan kami. Jujur, aku memang anak yang nakal. Tapi, aku tidak pernah lepas dari peringkat satuku. Walaupun badung begini, aku masih tetap memikirkan prestasi.
“Assalamualaikum WR. WB.”, ibu guru baru masuk kelas mengucapkan salam.
“Walaikumsalam WR. WB.”, jawab anak-anak pengkhianat yang masih berada di kelas.
“Ini jumlah siswanya memang cuma segini? Bukannya ada 28 ya? Kemana yang lain?”, Tanyanya keheranan.
Tidak ada respon dari anak-anak, mereka semua terdiam. Begitu pula dengan sang guru. Mungkin karena dia guru baru, jadi dia tidak begitu mempermasalahkan hal itu. Buktinya, dia tidak kepo dengan pertanyaan yang belum dijawab tadi dan langsung memperkenalkan diri.
“Baiklah, perkenalkan nama lengkap ibu Nur Kumala, kalian bisa panggil saya bu Nur.”
Asal kalian tahu, sebenarnya kami bersepuluh ini mengintip dari jendela. Dan betapa kagetnya kami ketika bu Nur melihat ke arahku. Aku yang sudah tertangkap basah mengintip ini langsung panik dan berencana lari. Tapi, bu Nur langsung membuka jendela dan menyeru.
“Heyy…! Kalian bersepuluh kenapa tidak masuk kelas? Malah mengintip lagi!”, teriak bu Nur yang membuat kami sangat ketakutan.
“Mau kabur bu..”, jawabku ringan.
“Ya ampun, ada ya siswa yang seperti ini. Tidak tau sopan santun. Kecewa ibu, baru pertama kali ibu lihat ada siswa seperti ini.”, jawab bu Nur dengan muka memerah.
“Abisnya kita gak mau ada guru baru, guru baru tu ngeselin, kayak ibu. Baru masuk udah marah-marah.”, jawabku sambil bergegas pergi menjauh dari hadapan bu Nur.
“Mau kemana kalian?!”, teriak bu Nur lagi.
Kami sama sekali tidak menghiraukannya lagi, dan langsung kabur menjauh dari ruang kelas kami. Sialnya, kami tertangkap basah dengan guru lain. Walaupun sudah tertangkap basah, kami masih bisa lari. Bahkan kami main kejar-kejaran dengan satpam sekolah kami. Sampai akhirnya kami bertemu dengan kepala sekolah kami. Sepertinya bu Tuti marah besar melihat tingkah kami. Bisa dilihat dari mukanya yang seketika berubah menjadi seperti api yang berkobar-kobar. Tapi tetap saja kami abaikan, sampai akhirnya kami bersepuluh bisa sampai di pintu gerbang dan berhasil melarikan diri. Setelah dipikir-pikir, masalahnya memang sepele, hanya tidak ingin ada guru baru. Tapi, karena kami memang punya jiwa-jiwa pemberontak, ya begini akhirnya.
Sesampainya di rumah, aku sudah tidak punya pikiran lagi untuk ganti baju. Langsung ku rebahkan badanku di atas kasur dan tertidur pulas sampai sore.
*****
Tak terasa malam sudah berganti pagi, matahari sudah mulai menampakkan wajahnya. Hari ini aku sangat takut sekali berangkat sekolah, akibat ulah kami kemarin. Pasalnya, itu adalah bagian dari kenakalan kami yang paling parah. Tapi, karena memang aku sudah bebal, jadi aku tenang-tenang saja dan tetap berangkat sekolah seperti biasanya.
Benar dugaanku, saat jam pelajaran dimulai, wali kelasku masuk dengan muka yang berbeda, tidak seperti biasanya, yang selalu menebarkan senyuman. Kami, seluruh siswa/siswi kelas VI didikan pak Parjio, kena omel habis-habisan. Dan kami bersepuluh yang membuat masalah kemarin, disuruh menghadap bu Nur dan meminta maaf kepadanya.
Aku dan delapan orang lainnya, saat jam istirahat langsung pergi ke kantor untuk menemui bu Nur. Tapi ternyata bu Nur tidak ada. Yang membuat kami sangat kaget, ketika guru piket mengatakan bahwa bu Nur sakit, sehingga tidak bisa masuk. Aku yang kemarin beradu mulut dengan bu Nur sangat merasa bersalah, dan berencana sepulang sekolah nanti membeli sesuatu sebagai tanda permohonan maaf. Kami bersepuluh pun iuran dan membelikan mainan jilbab untuk bu Nur.
******
Keesokan harinya, kami lihat bu Nur sudah masuk. Kami langsung bergegas menemuinya dan meminta maaf.
“Ibu.. kami semua minta maaf ya bu.. kami janji tidak akan mengulanginya lagi.”, kataku sambil menyalami bu Nur dan memberikan mainan jilbab yang kami beli kemarin.
“Iya, ibu maafkan.. lain kali jangan seperti itu lagi. Ibu juga minta maaf karena sudah marah-marah kemarin. Ngomong-ngomong makasih hadiahnya. Hehehe.”, jawab bu Nur sambil tertawa.
Spontan kami semua yang ada disini tertawa. Kami bersepuluh, ditambah bu Nur saling berpelukan. Akhirnya, aku sadar, bahwa tidak semua yang baru itu begitu. Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. Bu Nur guru yang sangat baik, dia penyayang. Dari sini aku bisa belajar untuk menerima. Menerima apapun itu.
Kini, aku sudah mulai beranjak dewasa. Jika kuingat-ingat lagi masa itu, rasanya sungguh mengharukan sekali. Ya, aku juga tidak menyangka, jika Bu Nur sekarang adalah tetanggaku.

"Sorry masih banyak kekurangan"



Karya : Bunga Anggraeni Rahayu
XI MIA 3 MAN Insan Cendekia Jambi